Perubahan Sosial Budaya

Label:

DAMPAK PERKEMBANGAN OBJEK WISATA DIENG TERHADAP
MASYARAKAT DI DESA SEMBUNGAN

      I.        GAMBARAN UMUM
Dieng adalah kawasaan dataran tinggi di Jawa Tengah, yang masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Letaknya di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Dieng juga memiliki ketinggian rata-rata sekitar 2.000m di atas permukaan laut. Secara administrasi, Dieng merupakan wilayah Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng (Dieng Wetan), Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.
Dieng merupakan dataran luas yang dikelilingi pegunungan, antara lain Gunung Prahu, Gunung Juranggrawah, Gunung Pangamun-amun, Gunung Sipandu, dan beberapa gunung lainnya. Dieng adalah kawasan vulkanik aktif dan dapat dikatakan merupakan gunung api raksasa dengan beberapa kepundan kawah. Terdapat banyak kawah sebagai tempat keluarnya gas, uap air dan berbagai material vulkanik lainnya. Keadaan ini sangat berbahaya bagi penduduk yang menghuni wilayah itu, terbukti dengan adanya bencana letusan gas Kawah Sinila 1979. Tidak hanya gas beracun, tetapi juga dapat dimungkinkan terjadi gempa bumi, letusan lumpur, tanah longsor dan banjir.


    II.        OBJEK WISATA DI DIENG
Beberapa peninggalan budaya dan alam telah dijadikan sebagai objek wisata dan dikelola bersama oleh dua kabupaten, yaitu Banjarnegara dan Wonosobo. Berikut beberapa obyek wisata di Dieng.
§  Telaga : Telaga Warna ( sebuah telaga yabg sering memunculkan berbagai macam warna seperti merah, hijau, biru, putih, dan lembayung ), Telaga Pengilon, Telaga Merdada, Telaga Cebon.
§  Kawah : Sikidang, Sileri, Sinila (meletus dan mengeluarkan gas beracun pada tahun 1979 dengan korban 149 jiwa), Kawah Candradimuka.
§  Kompleks candi-candi Hindu yang dibangun pada abad ke-7, antara lain: Candi Gathotkaca, candi Arjuna, Candi Bma, Candi Semar, Candi Sembadra, Candi Srikandi, Candi Setyaki, Gangsiran Aswatama, Candi Dwarawati.
§  Gua : Gua Semar, Gua Jaran, Gua Sumur. Terletak di antara Telaga Warna dan Telaga Pengilon, sering digunakan sebagai tempat olah spiritual.
§  Sumur Jalatunda
§  Dieng Volcanic Theater, teater untuk melihat film tentang kegunungapian di Dieng.
§  Museum Dieng Kailasa, menyimpan artefak dan memberikan informasi tentang alam (geologi, flora-fauna), masyarakat Dieng (keseharian, pertanian, kepercayaan, kesenian), serta warisan arkeologi dari Dieng.
§  Mata Air Sungai Serayu, sering disebut dengan Tuk Bima Lukar.

   III.        DESA SEMBUNGAN
Desa Sembungan merupakan desa tertinggi di pulau Jawa sekitar 2306 Mdpl. Desa tersebut terletak di Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo. Banyak keunikan yang dapat kita temui di desa ini dan yang paling sering dikejar oleh wisatawan adalah golden sunrise di bukit Sikunir.
Gunung Sikunir adalah objek wisata alam yang terletak di Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar Wonosobo. Perjalanan menuju Gunung Sikunir dapat ditempuh dari Dieng - Sembungan, dan kearah selatan dari Telaga Cebong. Untuk mencapai puncak Gunung Sikunir dibutuhkan waktu sekitar 2 jam, jika berjalan kaki dari Dieng. Wisatawan dapat memanfaatkan jasa ojek (Dieng) untuk mengantar sampai di kaki Gunung Sikunir. Di Puncak Gunung Sikunir, Wonosobo, wisatawan dapat menikmati indahnya matahari terbit pagi hari (Sunrise). Puncak Sindoro, Sumbing, Merbabu dapat terlihat dengan elok di Gunung Sikunir. Tidak hanya itu wisatawan juga disuguhi beraneka suara burung dan ayam hutan yang berkokok.menambah keindahan puncak Gunung Sikunir. Untuk menikmati Sunrise di Gunung Sikunir, pengunjung harus tiba dipuncak sebelum matahari terbit. biasanya Star perjalanan dari Dieng jam 03.00 dini hari. Hampir setiap hari ada yang naik ke bukit ini untuk menikmati keagungan Tuhan yang langka tersebut. Selain Sunrise ada juga Telaga Cebong seluas kurang lebih 11 Ha.
  IV.        PERUBAHAN YANG TERJADI PADA MASYARAKAT
Sejak diresmikan menjadi objek wisata, banyak perubahan yang terjadi baik pada masyarakatnya maupun pada kawasan Dieng itu sendiri. Perubahan hebat di dataran tinggi Dieng terutama dipicu oleh masuknya tanaman kentang yang pada era 80 an dibawa oleh orang-orang Jawa Barat (Pengalengan) ke wilayah tersebut. Berdasarkan catatan statistic, kebutuhan kentang nasional memang terus meningkat seiring dengan terjadinya perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan, khususnya dalam hal konsumsi makanan. Tanaman kentang berhasil membangkitkan gairah baru kalangan petani di dataran tinggi Dieng. Orang-orang di sana meninggalkan tanaman lama yang sudah berpuluh-puluh tahun menjadi tulang punggung ekonomi local, seperti pit rem atau sejenis bunga lili putih, kobis, kacang Dieng, dan tembakau. Mereka beralih ke tanaman kentang yang oleh sebagian orang dianggap ajaib karena memiliki usia panen yang singkat (hanya 100 hari) dan harganya sangat bagus.
Di Sembungan, booming ekonomi kentang ini antara lain ditandai dengan 3“monument” yang sering diingat warga setempat, yakni berdirinya masjid seharga 3 milyar di desa itu, jumlah warga Sembungan yang sekali naik haji mencapai 40 orang dan sepasang sepatu bola milik seorang ustad seharga 2 juta rupiah. Bukan hanya itu, booming ekonomi kentang juga telah mengubah Dieng secara keseluruhan, misalnya rumah-rumah penduduk yang dahulu hanya berdinding kayu dan beratap seng kini berdinding batu dan beratap genteng. Bahkan beberapa di antaranya bertingkat atau pun bergaya Spanyol. Dan antene parabola pun bukan lagi pemandangan asing di daerah Dieng. Kesejahteraan rakyat Wonosobo meningkat pesat lewat pertanian kentang salah satu indikasinya, banyak petani yang memiliki antene parabola di rumahnya. Di Sembungan, Sikunang dan desa-desa lain di wilayah Dieng bagian atas, hampir setiap orang memiliki mobil atau truk yang diparkir begitu saja di depan. Sejak mengenal kentang pada tahun 1980 an, petani Dieng telah sepenuhnya menggantungkan harapan yang sangat besar pada komoditas ini. Ada semacam hasrat kuat untuk mengubah citra sebagai orang gunung yang miskin dan terbelakang menjadi orang modern yang maju dan kaya.
Bagaimanapun, masuknya ekonomi pasar ke dalam masyarakat pegunungan Dieng, secara cepat telah memberikan pengaruh pada kultur agraris di sana, tidak hanya menyangkut proses-proses komodifikasi produk pertanian, tetapi juga telah memperluas jaringan sosial dan orientasi masyarakat ke luar desa. Ciri-ciri local mulai bergeser sejalan dengan melebarnya batas-batas interaksi dan pengetahuan penduduk. Sumberdaya yang dapat dimobilisir menjadi lebih luas, melampaui batas-batas desa. Penggunaan tenaga kerja dalam pertanian misalnya, mulai didatangkan dari desa-desa yang ada di sekitarnya, yang tentu saja kemudian mengubah bentuk-bentuk kewajiban sosial antar anggota masyarakat akibat meluasnya batas-batas solidaritas social.
Sejak terjadi booming ekonomi kentang, simbol-simbol modernitas yang selama ini identik dengan gaya hidup perkotaan di dataran rendah, tiba-tiba seperti dihadirkan di dataran tinggi itu. Dari mulai sepatu bola dengan harga jutaaan rupiah, sepeda motor sport, pesta kembang api, masjid megah bertingkat, hingga kuda balap dan mobil-mobil keluaran terbaru, kini menjadi orientasi gaya hidup orang-orang dataran tinggi yang dahulu dikenal sebagai masyarakat agraris yang subsisten itu. Booming ekonomi kentang agaknya telah membawa mereka pada impian baru: menjadi bagian yang syah dari gemerlap modernitas. Kendatipun demikian, di dataran tinggi itu kita juga masih bisa menyaksikan hal-hal ironis lain, seperti lemari pendingin yang oleh sebagian warga difungsikan sebagai lemari baju, parabola yang dengan gagahnya dipancangkan meski tanpa aliran listrik, timbunan uang kertas di balik kasur pegas, dan lain sebagainya. Modernitas yang belum sepenuhnya hadir di dataran tinggi yang dahulu sering diasosiasikan dengan kawasan seribu candi itu, kini terasa sekali keterwakilannya dengan hadirnya bentang alam geometris berupa petak-petak pertanaman kentang, deretan papan reklame racun kimia, dan gaya hidup baru segenap warga. Sejak booming ekonomi kentang terjadi di dataran tinggi itu, keterbukaan komunitas dan hubungannya dengan dunia luar nampaknya melaju sedemikian intensif.
Faktor yang mempengaruhi perubahan social dan budaya:
a)    Faktor Pendorong Perubahan:
Ø  Adanya kontak dengan kebudayaan lain, misalnya dengan masuknya tanaman kentang yang pada era 80 an dibawa oleh orang-orang Jawa Barat (Pengalengan) ke wilayah Dieng.
Ø  Sistem pendidikan formal yang maju, melalui pendidikan seseorang akan mendapatkan suatu pengetahuan dan informasi yang belum ia ketahui.
Ø  Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, yang apabila terjadi dalam waktu yang lama akan menyebabkan kejenuhan dan dapat berakhir dengan lahirnya revolusi yang dilakukan oleh masyarakat.
Ø  Penduduk yang heterogen, masyarakat yang terdiri atas kelompopk-kelompok social yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda dapat mempermudah terjadinya pertentangan.
b)    Faktor Penghambat perubahan:
Ø  Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis, setiap usaha perubahan yang berkaitan dengan usaha kebudayaan spiritual bahkan ideology dianggap akan berlawanan dengan ideologi yang telah dipegang masyarakat sehingga mereka akan menolaknya.
Ø  Adanya adat atau kebiasaan yang sulit diubah, kebiasaan sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat cenderung akan terus dipertahankan karena dengan terjadinya perubahan kebiasaan atauu adat dianggap akan melemahkan sendi-sendi kehidupan social.
Dalam konteks perubahan-perubahan seperti itu, implikasinya, masyarakat akan terdorong ke arah hubungan-hubungan yang lebih otonom, terlepas dari system dan ikatan-ikatan lama, menuju pada pola-pola baru yang lebih longgar. Kesadaran kelompok untuk menegaskan identitas menjadi lebih dinamis, terbangun dalam suatu interaksi yang melibatkan jaring-jaring sosial secara luas, bukan semata-mata sebagai kesadaran yang dikonstruksikan atas dasar ketertutupan-ketertutupan. Maka proses perubahan-perubahan itu, sesungguhnya tidak hanya diakibatkan oleh unsur-unsur eksternal, akan tetapi juga dilahirkan atas kehendak dari unsur-unsur internal. Atau dengan kata lain kita bisa menyatakan bahwa perubahan-perubahan itu tidak bisa secara mutlak dipandang dari kaca mata teori dampak semata. Bagaiamanapun, hasrat untuk berubah dari kalangan masyarakat itu sendiri adalah factor yang sangat menentukan dan perlu diperhitungkan.
Faktor-faktor Penyebab Perubahan Sosial dan Budaya:
1)    Faktor internal:
*      Bertambah dan berkurangnya penduduk,
*      Pertentangan dalam masyarakat yang terjadi di antara individu dan kelompok, kelompok dan kelompok, atau antara individu dan individu.
2)    Faktor eksternal:
*      Perubahan social dapat terjadi karena kebudayaan dari masyarakat lain yang melancarkan pengaruhnya.
*      Ilmu pengetahuan yang berkembangn pesat.
*      Pengaruh dari masyarakat pendatang, dengan dijadikannya Dieng menjadi tempat wisata menjadikan banyak orang yang berkunjung. Orang tersebut berasal dari masyarakat luar yang membawa kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat sekitar, misalnya ppada model rambut, mode pakaian, dan lainnya.
Perubahan itu juga bukan saja menjelaskan bagaimana interaksi masyarakat dengan berbagai factor yang ikut menentukan pranata sosial secara luas. Perubahan-perubahan itu harus dilihat dalam konteks globalisasi yang sedang terjadi dan memiliki pengaruh ke dalam proses-proses sosial hingga ke tingkat yang paling kecil. Proses-proses ini telah membawa pasar menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial yang bertumpu pada prinsip- prinsip komunikasi yang canggih. Pasar telah pula memperluas orientasi masyarakat dan mobilitas, hingga batas-batas sosial budaya selain meluas juga cenderung mengabur akibat berubahnya orientasi ruang dalam masyarakat.




0 komentar:

Posting Komentar