Sosiologi Terapan

Label:

Fenomena Kapitalisme di Indonesia
Kapitalisme atau Kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untung kepentingan-kepentingan pribadi. Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara luas. Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut. Kapitalisme memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak ditemukannya sistem perniagan yang dilakukan oleh pihak swasta. Saat ini, kapitalisme tidak hanya dipandang sebagai suatu pandangan hidup yang menginginkan keuntungan belaka.

Kapitalisme di Amerika berbeda dengan di Indonesia. Di Amerika, yang punya modal besar akan menguasai pasar. Yang modalnya kecil meramaikan pasar. Tidak semua orang bisa membuka bisnis. Peraturan perpajakan dan hukum bisnis yang ketat membuat wirausaha tidak semudah membuka warung kaki lima di Indonesia. Di Indonesia, hampir semua orang bisa membuka bisnis. Kredit usaha sebenarnya pun tidak begitu sulit. Jika bank tidak bersedia memberi pinjaman, kita bisa mencoba meminjam pada kerabat atau orang lain yang punya kelebihan modal. Regulasi pun belum seketat di Amerika. Menjual sesuatu tidak harus di toko. Teras rumah bisa disulap menjadi tempat jualan. Satu hal yang menjadi isu besar dalam berbisnis di Amerika adalah pajak. Tingkat pajak yang tinggi, mencapai kisaran 30%, mengakibatkan pemerintah harus memberi insentif khusus bagi wirausahawan. Di Indonesia, pebisnis kecil tak perlu terlalu khawatir untuk meminta insentif khusus, atau tepatnya tak usah khawatir dengan pajak. Bisnis apapun ada di Indonesia, mau counter pulsa HP, warung tenda, penjual kacamata hitam di pinggir jalan, penjual kelinci, panti pijat, tukang cat freelance, dan lain sebagainya. Bisnis-bisnis yang di Amerika butuh license bisa dijalankan dengan mudah di Indonesia. Bahkan tukang potong rambut pun perlu lisensi khusus di Amerika. Tanpa lisensi khusus potong rambut, seseorang yang memotong rambut secara komersil bisa didenda yang besarnya mungkin lebih dari yang ia dapat dari memotong rambut selama 3 bulan.
Bicara soal modal, Indonesia lebih fleksibel. Atmosfer kapitalisme dimana yang bermodal besar menguasai pasar sangat terlihat di Amerika. Tapi di Indonesia, siapa yg mau bekerja keras, dialah yg bakal menguasai pasar. Di Amerika, posisi Wal-Mart sangat mengancam toko-toko eceran kecil. Di Indonesia, Carrefour dan Giant belum sampai pada posisi itu. Kalaupun di Jakarta sudah mulai terasa, di daerah masih banyak peluang. Minimarket dan supermarket lokal masih mempunyai peran strategis. Warung-warung tenda di Indonesia bisa mendatangkan ratusan ribu rupiah semalam hanya dengan bermodal 2 buah kompor, beberapa alat penggorengan, beberapa lembar tikar, dan sebuah tenda. Di Amerika, tak peduli apa jenis makanan yang dijual, setiap rumah makan harus mempunyai seperangkat alat masak yang sudah mendapat izin berdasarkan regulasi pemerintah. Ditambah lagi inspeksi acak yang dilakukan untuk memastikan restoran-restoran ini memenuhi standar kesehatan. Di tingkat bawah menjamurnya kafe, warung tenda, warnet, rental VCD-DVD merupakan gambaran nyata kapitalisme di Indonesia. Belum ketatnya regulasi bisnis di negeri ini seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai momen naiknya peran wirausahawan sebagai pemain utama ekonomi bangsa. Punya modal sedikit bukanlah halangan untuk berbisnis di Indonesia.
Menurut Inisiator Occupy Jakarta, Bob Sulaiman, di seluruh negara sudah terbukti bahwa sistem kapitalisme hanya menyejahterakan satu persen kelompok tertentu, sedangkan 99 persen lainnya sengsara. Begitu pun di Indonesia. Kapitalisme terbukti gagal mensejahterahkan rakyat. Segera bangun sistem ekonomi berprikemanusiaan dan berperkeadilan untuk seluruh rakyat Indonesia. Dengan kondisi perekonomian dan regulasi bisnis di Indonesia sekarang, usaha-usaha bisnis seperti yang disebutkan di atas justru bisa menjadi pilihan dan menjadi penggerak utama perekonomian. Belum lagi jika kita bisa memanfaatkan sikap konsumerisme masyarakat kita di segmen bawah. Karena di tingkat inilah masyarakat berinteraksi setiap harinya dan di sinilah uang mereka berputar.


0 komentar:

Posting Komentar